Popular Post

Weekly Most Viewed

Posted by : Vaiz 9 Mar 2013

 Mungkin ini ujian nasionalisme, mungkin ini ujian fanatisme. Entah sudah berapa kali hal seperti ini terjadi. Saat klub-klub elit dunia menyambangi negara ini, semacam mengirimkan pernyataan perang atas nama amal dan persahabatan. Saat ribuan bahkan puluhan ribu penyandang status warga negara Indonesia meneriakkan dukungan yang dilagukan dengan bahasa yang mungkin tidak mereka pahami. Saat batasan jarak tidak lagi menjadi penghalang untuk berbondong-bondong datang ke stadion, saat deklarasi-deklarasi mimpi yang menjadi kenyataan kembali mencuat dengan lantangnya. Mereka yang tak pernah ada di negara ini, mereka yang tidak pernah menjaringkan bola ke gawang lawan demi nama baik negara ini, mereka yang bertanding di lapangan hijau belahan benua lain, merekalah yang mendapat dukungan terbesar. Sekali-kali coba bayangkan bagaimana rasanya bertanding di negara sendiri, namun sorak-sorai terbesar justru diberikan kepada tim lawan dari negara yang mungkin makanannya pun tidak pernah cocok dengan lidah kita. Miris? Mungkin.

Penikmat, pecandu ataupun pecinta bola mana yang tak tahu AC Milan? Salah satu klub yang bermarkas di kota Milan ini kembali menyambangi Indonesia - negara yang iklim persepakbolaannya sedang tak menentu atau mungkin semakin tak menentu atau well, selalu tak menentu. Sama seperti kedatangannya yang pertama, kedatangan kedua ini juga dilakoni oleh mereka yang berpredikat sebagai legenda hidup. Milan Glorie, kata mereka. Entah apa yang ada di pikiran mereka saat memilih Indonesia sebagai negara tujuan tempat mereka bertanding. Satu hal yang pasti, negara ini adalah negara dengan tingkat fanatisme yang tinggi, ada puluhan ribu orang yang rela membayar harga tinggi atas nama fanatisme. Dan semoga saja ini bukan fanatisme sesaat, bukan fanatisme yang timbul atas dasar mental glory hunter dan bukan fanatisme yang bertumbuh dalam kendali cinta buta yang bodoh.


Dan ya, saat ini aku berada di tengah-tengah mereka yang akan mengelukan sejumlah nama legendaris, nama yang mereka daulat sebagai pahlawan lapangan hijau. Aku pun tidak bisa memungkiri hal itu, bagiku mereka memang legenda. Masa kecil sebagai perempuan aku habiskan dengan cara yang mungkin kurang wajar. Tidak ada khayalan menjadi oh so fairytale princess, yang ada hanya imajinasi bagaimana mengagumkannya berada di lapangan hijau bersama legenda-legenda itu. Dan dalam hitungan jam mereka akan ada di depan mataku. Tidak akan ada batasan layar televisi, tidak akan ada perpanjangan tangan dari kecanggihan teknologi satelit, yang ada hanya adegan nyata. Mereka akan berlari-lari menggiring bola di depanku, dan aku akan berteriak atau hanya terbengong tak percaya di bangku penonton.

90 menit ini akan menjadi luar biasa, mungkin bakal menjadi lebih indah dari khayalan apapun. Tapi kalau aku boleh jujur, ada satu yang kerap mengusik. Di tengah-tengah gagahnya seruan chants dan kibaran banner yang ironisnya bukan ditujukan untuk mereka yang bertanding atas nama merah putih, kadang aku berpikir akan apa yang akan dipikirkan oleh legenda tanah air kalau mereka melihat hal ini. Silakan berpendapat semaumu, tapi kadang aku merasa bersyukur karena Andi Ramang tidak ada lagi di sini. Bukannya bermaksud kejam atau tak tahu diri, tapi coba bayangkan jika sampai saat ini dia masih ada bersama kita. Setelah tahun-tahun berat tidak menjadi alasan untuk tetap memperjuangkan nasib sepakbola nasional di eranya, bayangkan rasanya jika ada begitu banyak orang yang berselingkuh di lapangan hijau tanah air saat ini. Ada berapa banyak yang akan bersorak gembira seandainya salah satu dari mereka yang tergabung dalam Indonesia All Star mencetak gol dalam pertandingan amal melawan Milan Glorie nanti? Apa yang terjadi mungkin akan membuat catatan 19 gol yang berhasil diciptakan Ramang pada perhelatan PSSI di Asia pada tahun 1954 seolah-olah tidak lagi membanggakan. Di eranya Ramang dielu-elukan, di eranya tembakan salto Ramang mendapatkan pengakuan dunia. Pemain dengan kemampuan tembakan salto yang tinggi adalah karunia tak terhingga bagi sebuah tim. Tidak hanya membuktikan kehebatan, tapi juga keindahan sepakbola. Tidak percaya? Gol dari tendangan salto pada saat melawan Cina tahun 1958 adalah buktinya walaupun saat ini banyak yang tak mengenal nama Ramang. Ironis, bukankah dia legenda?
foto_berita/FanatismeLegendadanNasionalisme_html_m1912169e.jpg
Sudahlah, biarkan almarhum Ramang beristirahat. Maaf karena sudah membawanya pada perandai-andaian tadi. Bagaimana dengan Anwar Ujang? Tak hanya bergelar Beckenbauer Indonesia, mantan pegawai perusahaan minyak nasional ini juga menyandang predikat kapten tim nasional selama 3 tahun berturut-turut, 1971-1974. Catatan prestasinya luar biasa, di eranya tim nasional Indonesia menjadi ancaman terbesar di Asia. Kadang aku berpikir, hal-hal yang kuberikan untuk salah satu klub raksasa yang menjadi cinta pertamaku dalam sepakbola membuatku tampak seperti orang yang lupa sejarah. 19 April 1974, skor 2-1 bagi kemenangan Indonesia atas Uruguay. Bayangkan bagaimana rasanya membaca berita tentang perjuangan Anwar Ujang dalam menghmbat pergerakan Juan Silva dan Morena yang tercetak di halaman paling depan. Ah, bukankah mereka legenda? Kenapa yang tersisa saat ini hanya aksi legendaris duet Franco Baresi dan Paolo Maldini?

Buatku pribadi, berbicara legenda juga berbicara tentang Maulwi Saelan - seorang legenda tanah air yang terinspirasi oleh film tentang keberhasilan atlet kulit hitam Jesse Owens di Olympiade Berlin tahun 1936. 20 tahun setelahnya, mimpi ini menjadi kenyataan. Maulwi Saelan menjadi penjaga gawang Indonesia di perhelatan Olympiede Melbourne. Sejarah mencatat pertandingan ulang harus dilakukaan dalam partai melawan Uni Soviet akibat skor kacamata sampai peluit akhir berbunyi. Saat itu Indonesia harus menyerah 0-4. Saelan memang legenda sebenarnya. Ia tidak hanya berjuang di lapangan hijau, tapi di medan perang. Dan jangan lupa kalau Saelan juga tidak hanya tercatat sebagai penjaga gawang, tetapi juga sebagai penjaga Bung Karno. Katanya dia adalah penjaga Bung Karno yang paling setia, dia yang menemani Bung Karno di saat detik-detik terkahir hidupnya. Legenda bukan? Kenapa kalian lupa?
foto_berita/FanatismeLegendadanNasionalisme_html_m241db474.jpg
Ada banyak cerita aksi-aksi lapangan hijau di Indonesia yang melegenda walau banyak yang tak paham. Kadang aku merasa malu bukan karena aku tak mengenal sejarah, tapi karena seolah-olah aku tak mengenal sejarah. Dan mungkin inilah sepakbola, kadang kita sendiri yang memilih mana yang menjadi sejarah mana yang tidak. Semua bisa menjadi ironis dan miris, tergantung dari sudut pandang mana kita berpikir. Aku sendiri tidak paham mana yang benar. Ya, mungkin ini ujian nasionalisme atau malah ujian fanatisme atau mungkin bukan keduanya. Apapun itu, yang jelas sepakbola jauh lebih besar daripada olahraga, ada sejumlah kehidupan yang tercipta, berjalan, dicintai dan dikenang di dalamnya. Dan saat berbicara kehidupan, ada yang jauh lebih besar daripada nasionalisme. Entahlah, menurutku sepakbola itu berbicara tentang apa yang aku percayai. Aku percaya dengan apa yang aku cintai, aku menentukan siapa yang menjadi legenda terbesar buatku sekalipun hal itu akan membuatku semakin menjauh dari kriteria nasionalis. Tapi siapa yang perduli? Aku di sini untuk sepakbola, bukan untuk menjadi nasionalis. Toh siapapun yang menjadi legenda terbesarku, bukan berarti aku melupakan mereka yang menjadi legenda negara ini. Ah sudahlah, terima kasih untuk sepakbola yang melegenda. Kalian selalu hidup, di manapun dan siapapun kalian sekarang.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2013 Knowledge| - vaizsphere98 - Powered by Titania - Designed by Johanes Djogan -